Senin, 18 April 2011

Suku bunga

Suku bunga merupakan variabel penting dalam kebijakan moneter di Indonesia. Suku bunga menjadi lebih penting bagi Indonesia sejak dilepaskannya sistem nilai tukar managed floating pada Agustus 1997 dan digantikan dengan sistem nilai tukar mengambang bebas. Salah satu upaya untuk mendukung perubahan sistem nilai tukar dan penerapan target inflasi adalah penggunaan suku bunga sebagai sasaran antara kebijakan moneter. Bila sebelumnya jangkar moneter Indonesia adalah jumlah uang beredar (JUB), maka selanjutnya jangkar moneter dialihkan pada suku bunga. Menurut literatur-literatur ekonomi, penentuan tingkat suku bunga yang diatur dan direncanakan secara tepat oleh pengambil kebijakan (bank sentral), merupakan salah satu cara untuk mengurangi perubahan kurs yang tidak menentu sebagai akibat dari perubahan tingkat inflasi (Stephen, 2006).

Di Indonesia terdapat beberapa jenis suku bunga nominal di antaranya, yaitu PUAB, deposito berjangka 1 bulan sampai dengan 2 tahun, suku bunga kredit konsumsi, modal kerja, dan suku bunga kredit investasi. Perkembangan suku bunga Indonesia dibandingkan dengan suku bunga asing (yang diproksi dengan suku bunga LIBOR) terlihat dalam gambar 3.2 berikut. Suku bunga Indonesia dari kuartal 1 tahun 1990 sampai dengan kuartal 4 tahun 2006 lebih tinggi dibandingkan dengan suku bunga asing. Bahkan pada tahun 1997-1999 suku bunga Indonesia memiliki senjang yang relatif lebar dengan suku bunga asing.

Perkembangan suku bunga dalam negeri ditandai dengan beberapa hal penting. Kenaikan suku bunga SBI tertinggi terjadi pada tahun 1997, yaitu mencapai lebih dari 70%. Kenaikan suku bunga SBI ini dimaksudkan untuk membatasi ekspansi kredit perbankan dan menarik uang beredar dari sistem perbankan yang dikonversikan ke dalam SBI di Bank Indonesia. Akibat terjadinya bank panic pada tahun 1997, maka pada 1998 kuartal 4, Bank Indonesia menaikkan suku bunga deposito tertinggi menjadi 52,32% dengan tujuan untuk menaikkan tingkat likuiditas bank. Tahun 1998-2000, semua suku bunga mengalami penurunan. Namun pada tahun 2001, suku bunga deposito naik lebih tinggi dibandingkan kenaikan suku bunga lain, sehingga menyebabkan pergeseran preferensi masyarakat dalam menempatkan dana. Kondisi ini dirasa tidak memperbaiki kondisi sektor perbankan, maka suku bunga ditekan agar menjadi semakin rendah, sehingga spread dengan suku bunga luar negeri tidak terlalu tinggi. Pada 2004 kuartal 2, suku bunga domestik secara keseluruhan mencapai titik yang relatif rendah dibandingkan dengan periode-periode sebelumnya, namun kembali meningkat mulai tahun 2005.

Pembahasan suku bunga berkaitan erat dengan inflasi, terutama bila suku bunga digunakan sebagai sasaran antara dalam kebijakan moneter. Suku bunga dapat digunakan sebagai alat untuk mengelola inflasi, namun di lain pihak suku bunga nominal juga akan dipengaruhi oleh peningkatan ekspektasi inflasi. Semakin tinggi inflasi maka suku bunga pun akan mengalami kenaikan karena selisih antara suku bunga nominal dan inflasi mencerminkan beban sesungguhnya dari biaya suku bunga yang dihadapi individu dan perusahaan.

Kenaikan inflasi akan diikuti oleh kenaikan suku bunga, merupakan bentuk kebijakan moneter kontraksi agar tidak terjadi ekspansi kredit yang berlebihan. Apabila tidak terjadi ekspansi kredit maka perekonomian diharapkan akan lebih stabil sehingga menekan terjadinya inflasi. Kebijakan uang ketat dengan cara menaikkan suku bunga di satu sisi dapat meredam terjadinya inflasi, namun di sisi lain, kebijakan ini dapat mengorbankan sektor riil. Tingginya suku bunga kredit akan menyebabkan sektor riil tidak dapat mengembangkan usaha, menghambat investasi baru, yang berakibat melemahnya dunia usaha. Hal yang menjadi pertanyaan adalah apakah memang kebijakan suku bunga tinggi yang diterapkan oleh Bank Indonesia saat itu merupakan kebijakan yang benar-benar meredam inflasi, atau sebenarnya inflasi menjadi turun karena memang daya beli masyarakat yang menurun? Apabila penurunan inflasi sebenarnya lebih disebabkan karena penurunan daya beli masyarakat maka penggunaan suku bunga yang ketat untuk meredam inflasi tentunya tidak tepat sasaran karena justru akan melemahkan dunia usaha.

Pada tanggal 4 Maret, Bank Indonesia (BI) kembali menurunkan suku bunga acuan BI Rate menjadi 7,75% atau turun sebesar 50 bps dibanding Februari 2009. Penurunan ini tentunya positif bagi perekonomian Indonesia, sepanjang diikuti penurunan suku bunga kredit perbankan. BI termasuk agresif dalam kebijakan penentuan suku bunga. Sebab, ini adalah penurunan keempat secara berturut-turut sejak November 2008. Dan memang, bila BI Rate sudah turun, suku bunga perbankan harus turun. Kenapa demikian?
Kalau kita perhatikan, sesungguhnya motif utama BI mengambil langkah penurunan BI Rate adalah lebih ke arah untuk menggerakan sektor riil. Pertimbangan lain, seperti pengendalian indikator moneter: kurs dan inflasi, sebagaimana yang biasa dilakukan BI, tampaknya bukan menjadi pertimbangan utama dalam penurunan BI Rate kali ini, sekalipun hal itu masih menjadi catatan BI.
Faktor Dibalik Penurunan BI Rate
Penulis melihat, setidaknya ada tiga hal yang membuat BI mengambil keputusan tersebut, di tengah situasi pasar finansial yang belum stabil. Pertama, ekonomi global masih menunjukkan perlambatan yang lebih dalam, terutama di negara-negara maju. Sejumlah negara pun juga mengambil langkah yang sama dengan Indonesia, yaitu menjaga suku bunga acuannya dalam posisi yang rendah. Amerika Serikat, misalnya, menjaga suku bunga The Fed berada di level rendah yaitu 0,25%. Kemudian, Bank of Japan juga hanya sebesar 0,3 %. Bank Sentral India, pada 4 Maret lalu juga ikut menurunkan suku bunganya menjadi 5% dari posisi sebelumnya 5,5%. Arahnya sama, yaitu untuk menggerakkan sektor riil.
Perlambatan kondisi ekonomi negara maju saat ini telah nyata memberikan pengaruh negatif bagi perekonomian Indonesia. Ekspor pada Januari 2009 masih melanjutkan tren penurunan yang terjadi sejak September 2008. Pada Januari 2009 lalu, ekspor Indonesia menurun sebesar 17,70 persen dibanding Desember 2008 atau sebesar 36,08 persen bila dibandingkan dengan Januari 2008. Menurunnya ekspor ini menunjukkan bahwa perlambatan kegiatan ekonomi global telah memberikan pengaruh bagi aktivitas ekonomi domestik. Atas dasar inilah, BI tampaknya perlu menurunkan suku bunga untuk mengurangi biaya yang ditanggung industri agar tetap bisa ekspansif di tengah menurunnya permintaan dari pasar internasional.
Kedua, ada fakta lain bahwa tekanan inflasi saat ini sudah mulai mereda dibanding tahun lalu. Inflasi tahun 2008 sebesar 11,06% memang cukup riskan bila BI melepas suku bunga dalam kisaran yang rendah. Dan deflasi selama dua bulan terakhir, memang telah meningkatkan kepercayaan BI untuk mengambil langkah penurunan BI Rate, meskipun tren inflasi kembali terjadi. Pada bulan Februari lalu, inflasi tercatat sebesar 0,21%. Angka inflasi tersebut masih relatif rendah. Terlebih lagi, tekanan inflasi yang berasal dari faktor luar negeri (imported inflation) telah menurun sejalan dengan harga komoditas internasional yang lebih rendah. Sehingga, BI tidak perlu merasa khawatir bahwa kebijakan pelonggaran moneter melalui penurunan suku bunga ini akan meningkatkan inflasi.
Ketiga, kondisi perbankan nasional sampai saat ini cukup stabil, seperti tercermin dari perkembangan berbagai indikator keuangan dan kesehatan bank. Kondisi likuiditas perbankan, termasuk aliran likuiditas dalam pasar uang antar bank, mulai mengalami perbaikan dibanding dengan beberapa bulan yang lalu. Sementara itu, penyaluran kredit menunjukkan penurunan sebesar
∗ dimuat Bisnis Indonesia, Sabtu, 7 Maret 2009.
2,1 persen pada Januari 2009 akibat melemahnya perekonomian dan kehati-hatian perbankan dalam menyalurkan kredit. BI tampaknya perlu menurunkan suku bunga BI Rate untuk mendorong pertumbuhan kredit, meskipun tetap perlu mencermati kecenderungan meningkatnya risiko kredit yang berpotensi meningkatkan non performing loan (NPL) dalam industri perbankan.
Respon Perbankan
Kalau kita perhatikan, sesungguhnya setiap kebijakan BI menaikan atau menurunkan BI Rate telah diikuti pula dengan langkah perbankan untuk menurunkan suku bunga kreditnya. Itu artinya, sesungguhnya kalangan perbankan pun memiliki persepsi yang sama dengan otoritas, yaitu melakukan ekspansif.
Dan kalau kita lihat, perkembangan kredit perbankan selama tahun 2008 lalu juga menunjukkan tren peningkatan sangat signifikan. Kredit perbankan pada tahun 2008 tumbuh sebesar 30,51%, jauh diatas yang dipekirakan sebelumnya sebesar 22-24%. Situasi ini, tentunya tidak akan diperoleh bila suku bunga kredit dalam posisi yang tinggi. Perkiraan penulis, perbankan akan kembali menurunkan suku bunga kreditnya dalam satu bulan ke depan setelah kebijakan penurunan BI Rate tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar