Tak dapat disangkal, bahwa masyarakat di berbagai belahan dunia, atau negara sebagai representasi institusional secara keseluruhan, telah memasuki suatu medan globalisasi yang dicirikan salah satunya melalui perdagangan bebas. Berbagai kesepakatan, jalinan kerjasama, perjanjian multilateral, berbagai kelompok negara maju dan berkembang, penyatuan mata uang, dan lain-lain, merupakan suatu wujud dari lintas batas geografis-regional menuju pada kepentingan ekonomi internasional yang tak terhindarkan.
Demikian juga yang terjadi di Indonesia. Sebuah babak baru menuju perdagangan bebas, baik dalam lingkup regional di kawasan ASEAN melalui AFTA maupun kesepakatan yang dijalin melalui G-8 atau G-15, ke semuanya ini merupakan bukti tentang jaring keterlibatan antar negara di wilayah internasional tengah berlangsung, dengan berbagai pengaruh maupun dampak yang diakibatkannya.
Khusus di bidang ekonomi, globalisasi menampilkan bentuknya dengan prinsip perdagangan bebas dan perdagangan di tingkat dunia (world trade). Berbagai institusi-institusi perekonomian dunia akan "dipaksa" untuk mengikuti pergulatan di dalamnya, termasuk dalam hal ini tentu saja berlaku bagi badan-badan usaha koperasi yang banyak digeluti oleh usaha ekonomi rakyat di Indonesia.
Sekilas, jika melihat tentang krisis moneter yang bcrlanjut sampai sekarang, koperasi dan usaha kecil membuktikan dirinya sebagai pelaku ekonomi yang tangguh dan unggul, misalnya dalam menanggulangi malsalah pengangguran dan kemiskinan. Terdapat harapan bahwa pengembangan peran terhadap kedua pelaku ekonomi tersebut dapat menjadi tumpuan pemasok devisa negara yang sangat penting artinya dalam proses pemulihan ekonomi nasional. Namun hal itu menuntut pengembangan kualitas SDM, mulai dari tingkat perencanaan, teknis, sampai dengan tingkat pelaksanaan di lapangan, penguasaan teknologi, dan dukungan sarana, prasarana, serta lembaga pendukung. Untuk itu diperlukan SDM yang mempunyai kemampuan untuk menguasai teknologi, SDM yang mampu menciptakan kegiatan produksi dengan tingkat produktivitas yang lebih tinggi, mampu menciptakan inovasi dan perubahan-perubahan yang diperlukan serta mampu mengelola sumber daya dan sumber dana yang efisien dan produktif dalam proses produksi, diiringi dengan peningkatan kesejahteraan.
Lembaga koperasi sejak awal diperkenalkan di Indonesia memang sudah diarahkan untuk berpihak kepada kepentingan ekonomi rakyat yang dikenal sebagai golongan ekonomi lemah. Strata ini biasanya berasal dari kelompok masyarakat kelas menengah kebawah. Eksistensi koperasi memang merupakan suatu fenomena tersendiri, sebab tidak satu lembaga sejenis lainnya yang mampu menyamainya, tetapi sekaligus diharapkan menjadi penyeimbang terhadap pilar ekonomi lainnya. Lembaga koperasi oleh banyak kalangan, diyakini sangat sesuai dengan budaya dan tata kehidupan bangsa Indonesia. Di dalamnya terkandung muatan menolong diri sendiri, kerjasama untuk kepentingan bersama (gotong royong), dan beberapa esensi moral lainnya. Sangat banyak orang mengetahui tentang koperasi meski belum tentu sama pemahamannya, apalagi juga hanya sebagian kecil dari populasi bangsa ini yang mampu berkoperasi secara benar dan konsisten.
Dalam bidang pertanian, Menurut Dr. Ir. Muslimin Nasution, APU, Mengenai jumlah SDM dan angkatan kerja di Indonesia, setidaknya terdapat tiga hal yang menarik, yaitu pertama, jumlah masyarakat petani di Indonesia secara absolut dan juga relatif masih sangat besar. perdua, struktur tenaga kerja yang bergerak di sektor pertanian ini didominasi oleh banyaknya buruh tani dan pekerja keluarga, dan ketiga, hanya 0,2 persen tenaga kerja pertanian yang berpendidikan tinggi. Ditinjau dari tingkat pendidikan, kesehatan, dan penguasaan iptek dengan menggunakan pengukuran Human Development Index (HDI) tahun 1996 versi UNDP Indonesia masih masuk pada peringkat 102 dengan nilai HDI 0,641; Philipina mencapai peringkat 95 dengan nilai HDI sebesar 0,832. Vietnam masih berada di bawah peringkat Indonesia dengan nilai 0,540 dan menduduki peringkat 121. Beberapa negara ASEAN lainnya, seperti Thailand dan Malaysia menduduki peringkat 52 dan 53, dengan nilai HDI masing-masing adalah 0,832 dal. 0,826. Dari perbandingan nilai-nilai tersebut dapat dikatahui bahwa Indonesia perlu mempersiapkan SDMnya secara lebih mantap dan mendasar bagi pembangunan mendatang.
Rendahnya kuallitas SDM di pedesaan terutama disebabkan rata-rata tingkat pendapatan di pedesaan masih rendah. Jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan telah berhasil ditekan yaitu dari sekitar 60 juta orang atau 70 % dari jumlah penduduk pada tahun 1970, menjadi 25,9 juta atau sekitar 13,7 % dari jumlah penduduk pada tahun 1993. Dilain pihak, masih terdapat 20.633 desa yang digolongkan tertinggal, yang seharusnya menjadi garapan badan usaha koperasi pertanian.
Dalam bidang SDM, Indonesia juga mengalami persoalan yang tidak kalah peliknya, khusus di bidang ketenagakerjaan. Sesungguhnya bukan merupakan tanggung-jawab satu instansi saja melainkan merupakan tanggung-jawab bersama antara lembaga pendidikan dan pelatihan, termasuk perguruan tinggi sebagai penyedia tenaga kerja, masyarakat sebagai pengguna jasa pendidikan, dan pemerintah sebagai katalisator pembangunan sekaligus pemakai jasa pendidikan.
Terdapat dua langkah penting yang perlu dipertimbangkan. Langkah-langkah tersebut diantaranya adalah:
1. Pembangunan sistem pendidikan dan pelatihan yang diusahakan memenuhi kebutuhan pasar dan dunia usaha dalam kerangka pengembangan ekonomi kerakyatan. Dalam hal ini kalangan perguruan tinggi seyogyanya memantau orientasi pembangunan masa depan dan juga fleksibel/luwes dalam menyesuaikan antara silabus pendidikan dengan kebutuhan koperasi, dunia usaha serta industri.
2. Pembangunan sistem informasi hams terkait dengan semua sarana pengembangan ekonomi kerakyatan, termasuk dalam komoditi dan angkatan kerja. Penciptaan sistem ekonomi sangat terkait dengan informasi maupun sektor-sektor lain seperti komoditi, angkatan dan lapangan kerja maupun distribusinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar